UfukNews. Com, JAKARTA – Pemohon perkara Nomor 167/PUU-XXIII/2025, Windu Wijaya, SH, MH, melalui kuasa hukumnya Ardin Firanata, SH, MH, hari ini Senin, tanggal 06 Oktober 2025, secara resmi menyerahkan perbaikan permohonan uji materi terhadap Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) ke Mahkamah Konstitusi (MK),
Perbaikan permohonan tersebut kata Ardin Firanata, SH, MH, disampaikan sesuai arahan dan nasihat Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang sebelumnya. Sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 8 Oktober 2025, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
” Dalam permohonan yang telah diperbaiki, Pemohon menegaskan kembali adanya kerugian konstitusional yang dialami sebagai warga negara akibat berlakunya frasa “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 11 ayat (1) UU Kepolisian, ” imbuhnya.
Menurut Ardin Firanata yang juga merupakan salah satu dosen Hukum Tata Negara Universitas Ibnu Chaldun Jakarta menegaskan bahwa, frasa tersebut tidak menjelaskan alasan atau parameter hukum yang menjadi dasar DPR dalam memberikan persetujuan terhadap calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang diajukan oleh Presiden.
Ketidakjelasan ini, lanjutnya sebagai pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi menghilangkan jaminan dan perlindungan hukum bagi warga negara.
“Frasa ‘Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat’ dalam Pasal 11 ayat (1) UU Kepolisian tidak menjelaskan alasan-alasan yang menjadi dasar pemberian persetujuan. Akibatnya, DPR dapat menyetujui calon Kapolri tanpa pertimbangan yang konsisten, objektif, transparan, dan akuntabel,” Ardin Firanata sebagai Pemohon dalam berkas perbaikan permohonan.
Ia menegaskan sejak era Komjen Pol. Drs. Sutarman hingga Komjen Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, pola yang sama terus berulang: DPR memberikan persetujuan tanpa disertai alasan atau parameter hukum yang jelas.
” Kondisi tersebut dinilai menimbulkan tiga bentuk kerugian konstitusional bagi warga negara, yaitu: 1. Kerugian atas kepastian hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena keputusan DPR dapat bersifat sewenang-wenang tanpa alasan yang sah.
2. Kerugian atas jaminan hukum, sebab tidak ada kepastian bahwa calon Kapolri yang disetujui memenuhi standar integritas, profesionalitas, serta bebas dari pelanggaran hukum, etika, dan hak asasi manusia (HAM).
3. Kerugian atas partisipasi demokratis yang sehat, karena publik tidak memperoleh transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengangkatan pejabat publik strategis seperti Kapolri,” jelas Ardin Firanata.
Sambungnya, untuk mencegah terulangnya kerugian konstitusional tersebut, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar, yang pertama mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Kedua menyatakan bahwa frasa “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 11 ayat (1) UU Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa persetujuan DPR adalah persetujuan yang didasarkan alasan-alasan yang objektif, transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan.
” Dimana kejelasan tersebut meliputi, Integritas pribadi calon Kapolri; Rekam jejak bebas pelanggaran hukum, etika, dan HAM, Kepatuhan dalam pelaporan harta kekayaan, Pemenuhan jenjang karier dan pangkat profesional; serta netralitas terhadap kegiatan politik praktis, ” terang Ardin Firanata.
Sebelum menutup, Ardin Firanata SH MH sebagai kuasa Pemohon berharap, apabila permohonan ini dikabulkan, maka setiap proses persetujuan DPR terhadap calon Kapolri di masa mendatang wajib disertai alasan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, sejalan dengan prinsip objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
” Dengan demikian, hak konstitusional warga negara atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dapat terwujud secara nyata, ” pungkasnya.